Senin, 23 Juli 2012

KONSEP DASAR SURVEILANS


Menurut WHO Surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interprestasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada Unit yang membutuhkan untuk diambil tindakan. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu definisi Surveilans epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau kajian epidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data. Sehingga dalam sistem ini yang dimaksud dengan Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah –masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan
penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
Sistem Surveilans epidemiologi merupakan tatanan prosedur penyelenggaraan Surveilans epidemiologi yang terintegrasi antara unit-unit penyelenggara Surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi hubungan Surveilans epidemiologi antar wilayah kabupaten/kota, propinsi dan Pusat.
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan wajib dilakukan oleh setiap instansi kesehatan Pemerintah, instansi Kesehatan Propinsi, instansi kesehatan kabupaten/kota dan lembaga masyarakat dan swasta baik secara fungsional atau struktural. Mekanisme kegiatan Surveilans epidemiologi Kesehatan merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis dan terus menerus dengan mekanisme sebagai berikut :
a)      Identifikasi kasus dan masalah kesehatan serta informasi terkait lainnya.
b)      Perekaman, pelaporan dan pengolahan data
c)      Analisis dan intreprestasi data
d)     Studi epidemiologi
e)      Penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkannya
f)       Membuat rekomendasi dan alternatif tindak lanjut.
g)      Umpan balik.
Jenis penyelenggaraan Surveilans epidemiologi adalah sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan Berdasarkan Metode Pelaksanaan
1)      Surveilans Epidemiologi Rutin Terpadu, adalah penyelenggaraan Surveilans epidemiologi terhadap beberapa kejadian, permasalahan dan atau faktor resiko kesehatan.
2)      Surveilans epidemiologi Khusus, adalah penyelenggaraan Surveilans epidemiologi terhadap suatu kejadian, permasalahan , faktor resiko atau situasi khusus kesehatan
3)      Surveilans sentinel, adalah penyelenggaraan Surveilans epidemiologi pada populasi dan wilayah terbatas untuk mendapatkan signal adanya masalah kesehatan pada suatu populasi atau wilayah yang lebih luas.
4)      Studi epidemiologi, adalah penyelenggaraan Surveilans epidemiologi pada periode tertentu serta populasi atau wilayah tertentu untuk mengetahui lebih mendalam gambaran epidemiologi penyakit, permasalahan dan atau factor resiko kesehatan.
b. Penyelenggaraan berdasarkan Aktifitas Pengumpulan Data
1)      Surveilans aktif, adalah penyelenggaraan Surveilans epidemilogi dimana unit Surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
2)      Surveilans Pasif, adalah Penyelenggaraan Surveilans epidemiologi dimana unit Surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
c. Penyelenggaraan Berdasarkan Pola Pelaksanaan
1)      Pola Kedaruratan, adalah kegiatan Surveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku untuk penanggulangan KLB dan atau wabah dan atau bencana
2)      Pola Selain Kedaruratan, adalah kegiatan Surveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku untuk keadaan di luar KLB dan atau wabah dan atau bencana,
d. Penyelenggaraan berdasarkan Kualitas Pemeriksaan
1)      Bukti klinis atau tanpa perlatan pemeriksaan, adalah kegiatan Surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan klinis atau tidak menggunakan peralatan pendukung pemeriksaan.
2)      Bukti labortorium atau dengan peralatan khusus, adalah kegiatan Surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemerksaan laboratorium atau peralatan pendukung pemeriksaan lainnya.
Ruang Lingkup Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan Masalah kesehatan dapat disebabkan oleh beberapa sebab, oleh karena itu secara operasional diperlukan tatalaksana secara integratif dengan ruang lingkup permasalahan sebagai berikut:
a.       Surveilans Epidemiologi penyakit Menular
Merupakan analisis terus menerus dan sistematika terhadap penyakit menular dan faktor resiko untuk upaya pemberantasan penyakit menular.
b.      Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak menular dan faktor resiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit tidak menular.
c.       Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan Perilaku
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit dan faktor resiko untuk mendukung program penyehatan lingkungan.
d.      Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan faktor resiko untuk mendukung program-program kesehatan tertentu.
e.       Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan faktor resiko untuk upaya mendukung program kesehatan matra.
v  TUJUAN SE
      Mendapatkan informasi epidemiologi tentang masalah kesehatan meliputi gambaran masalah kesehatan menurut waktu, tempat dan orang, diiketahuinya determinan, faktor riisiiko dan penyebab langsung terjadinya masalah kesehatan tersebut.
v  MANFAAT SE
Umum:
1.perencanaan,
            2.implementasi,
            3.evaluasi kegiatan kesehatan masyarakat.

Khusus:
1.      Memperkirakan kuantitas masalah
2.      Menggambarkan riwayat alamiah penyakit
3.      Mendeteksi wabah/KLB
4.      Menggambarkan distribusi masalah kes
5.      Memfasilitasi penelitian dan epidemiologis dan laboratoris
6.      Membuktikan hipotesis
7.      Menilai kegiatan pencegahan dan penanggulangan
8.      Memonitor perubahan agen infeksius
9.      Memonitor upaya isolasi
10.  Mendeteksi perubahan kegiatan
11.  Merencanakan kegiatan
v  KOMPONEN SISTEM SURVEILANS
Komponen surveilans epidemiologi terdiri dari:
1.      Pengumpulan data; dapat dilakukan secara aktif (data primer) dan pasif (data sekunder). Tapi sebaiknya data yang dikumpulkan bersumber dari system pencatatan dan pelaporan yang sudah berjalan (surveilans pasif). Jika data yang diperlukan kurang lengkap dan tidak bisa diperoleh dari system pencatatan dan pelaporan rutin maka dapat dilakukan survey, survey cepat atau investigasi.
2.      Kompilasi (pengelompokan data yang sudah dikumpulkan, dapat dilakukan secara manual atau dengan bantuan computer), analisis dan interpretasi data (analisis dapat dilakukan dengan cara univariat atau bivariat)
3.      Diseminasi informasi (pelaporan, umpan balik, tindakan investigasi)

Sabtu, 26 Mei 2012

Mengenal Osteoporosis


Apa sih Osteoporosis itu...??
   Osteoporosis berasal dari kata osteo yang artinya tulang, porous berarti batang atau sering disebut juga silent disease yang berarti suatu kelainan/penyakit metabolik tulang yang disebabkan karena banyak faktor yang ditandai adanya penurunan massa dan mineral tulang sedemikian rupa sehingga menyebabkan kondisi tulang menjadi rapuh, keropos dan mudah patah.
Kelompok kerja World Health Organization (WHO) dan konsensus ahli mendefinisikan osteoporosis sebagai: penyakit yang ditandai dengan rendahnya massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang, menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Dimana keadaan tersebut tidak memberikan keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur (thief in the night). Atas dasar definisi dari WHO ini maka osteoporosis diukur densitas massa tulang yaitu:
a.       Normal : densitas tulang kurang dari 1 standar deviasi dibawah rata-rata wanita muda normal (T>-1).
b.      Osteopenia : densitas tulang antara 1 standar deviasi dan 2,5 standar deviasi dibawah rata-rata wanita muda normal (-2,5<T<-1).
c.       Osteoporosis : densitas tulang lebih dari 2,5 standar deviasi dibawah rata-rata wanita muda normal (T<-2,5).
Menurut Consensus Development Conference (CDC), 1993 Osteoporosis adalah penyakit skeletal sistemik yang ditandai dengan massa tulang yang rendah dan kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang, yang mengakibatkan meningkatnya fragilitas tulang sehingga tulang cenderung  untuk mengalami fraktur spontan atau akibat trauma minimal

Epidemiologi
Osteoporosis tersebar diseluruh dunia dan prevalensinya terdapat pada 200 juta wanita diseluruh dunia dan sekitar 1/3 diantaranya berusia antara 60-70 tahun serta 2/3 berusia diatas 80 tahun. Di Amerika serikat osteoporosis menyerang 20-25 juta penduduk, satu diantara 2-3 wanita postmenopause dan lebih dari 50% penduduk diatas 75-80 tahun menderita osteoporosis. Pada pasien tersebut 1,5 juta mengalami fraktur tulang femur bagian proksimal sebanyak 250.000 pasien dan fraktur vertebra sebanyak 500.000 pasien. Sedangkan terbanyak adalah fraktur panggul menimbulkan kematian sebanyak 10-15%. Sekitar 20-25% wanita usia diatas 50 tahun mengalami satu atau lebih fraktur vertebra, misalnya di United States 25%, Australia 20%, Western Europe 19%, Denmark 21%, Scandinavia 26%. Persentase yang besar di Scandinavia diakibatkan karena sinar matahari yang lebih jarang dijumpai di negara tersebut

Patogenesis
Pada kondisi normal, pada tulang kerangka akan terjadi suatu proses yang berlangsung secara terus menerus dan terjadi secara seimbang, yaitu proses resorbsi (factor penghancur tulang) dan proses pembentukan tulang (modeling). Setiap perubahan dalam keseimbangan ini, misalnya apabila proses resorbsi lebih besar daripada proses pembentukan tulang, maka akan terjadi pengurangan massa tulang dan keadaan inilah yang disebut Osteoporosis. Biasanya terjadi pada seseorang yang telah lanjut usia. Ada beberapa teori yang menyebabkan deferensiasi sel osteoklas meningkat dan meningkatkan aktivitasnya yaitu :
a.       Defisiensi Esterogen
b.      Faktor Sitokin
c.       Pembebanan
1.        Defisiensi Esterogen
Dalam keadaan normal estrogen dalam sirkulasi mencapai sel osteoblas, dan beraktivitas melalui reseptor yang  terdapat di dalam  sitosol  sel  tersebut, mengakibatkan menurunnya  sekresi sitokin seperti: Interleukin- 1 ( IL - 1) ,  Interleukin- 6  ( IL - 6 )   dan Tumor Necros is  Factor- Alpha ( TNF- α) , merupakan  sitokin yang berfungsi dalam penyerapan tulang. Di lain pihak estrogen meningkatkan sekresi Transforming Growth Factor β ( TGF- β) , yang merupakan satu-satunya factor pertumbuhan( growth  factor)  yang merupakan mediator untuk menarik  sel  osteoblas  ke  tempat  lubang  tulang yang  telah  diserap  oleh  sel osteoklas. Sel osteoblast merupakan  sel  target  utama  dari  estrogen,  untuk melepaskan beberapa faktor pertumbuhan dan sitokin seperti tersebut diatas, sekalipun secara tidak langsung maupun  secara  langsung  juga  berpengaruh  pada  sel osteoklas.
Dalam percobaan binatang, defisiensi estrogen akan nmenyebabkan terjadinya osteoklastogenesis yang meningkat dan berlanjut dengan kehilangan tulang. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian estrogen. Dengan defisiensi  estrogen  ini  akan  terjadi meningkatnya produksi dari IL-1, IL-6, dan TNF-α yang lebih lanjut akan  diproduksi M-CSF dan RANK-L. Selanjutnya RANK-L  menginduksi  aktivitas JNK1 dan osteoclastogenic activator protein-1, faktor transkripsi c-Fos dan c-Jun. Estrogen  juga merangsang ekpresi dari OPG dan TGF-βoleh sel osteoblas dan sel stroma,  yang selanjutnya berfungsi menghambat penyerapan tulang dan mempercepat/merangsang apoptosis sel osteoklas.
2.        Faktor Sitokin
Pada stadium awal dari proses hematopoisis dan osteoklastogenesis, melalui suatu  jalur yang memerlukan suatu mediator berupa sitokin dan faktor koloni-stimulator. Diantara  group  sitokin  yang menstimulasi osteoklastogenesis antara lain adalah: IL-1, IL-3, IL-6, Leukemia Inhibitory Factor (LIF), Oncostatin M (OSM), Ciliary Neurotropic Factor  (CNTF), Tumor Necrosis Factor  (TNF), Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), dan Macrophage-Colony Stimulating Factor  (M-CSF). Sedangkan  IL-4,  IL-10, IL-18,  dan  interferon-γ, merupakan  sitokin  yang menghambat  osteoklastogenesis.   Interleukin-6 merupakan salah satu yang perlu mendapatkan perhatian, oleh  karena meningkatnya IL-6 terbukti memegang peranan akan terjadinya beberapa penyakit, antaranya berpengaruh  pada  remodeling  tulang  dan  terjadinya penyerapan tulang berlebihan baik lokal maupun sistemik. Sebetulnya  tahun  1998  telah  dikemukakan adanya  hubungan  antara  sitokin,   estrogen,   dan osteoporosis pascamenopause.
Dikatakan terjadi peningkatan kadar dan aktivitas sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, TNF-α) secara spontan apabila fungsi ovarium menurun, misalnya pada masa menopause. Bagaimana mekanisme  secara  pasti hubungan  penurunan  estrogen  dengan  peningkatan sitokin  ini belum diketahui secara  jelas. Tetapi  ini diduga erat hubungannya dengan  interaksi dari reseptor estrogen (ER =  Estrogen Receptor)  dengan  faktor  transkripsi, modulasi  dari  aktivitas  nitrik-oksid  (NO),  efek antioksidan, aksi plasma membran, dan perubahan dalam fungsi  sel  imun.   Maka  pada  studi  klinis  dan eksperimental  ditemukan  ada  hubungannya antara penurunan massa  tulang  dengan peningkatan  sitokin proinflamasi ini.
3.        Pembebanan
Pembebanan mekanik pada tulang (skletal load) menimbulkan stres mekanik dan strain atau resultant tissue deformation yang menimbulkan efek pada jaringan tulang yaitu membentukan tulang pada permukaan periosteal sehingga memperkuat tulang dan menurunkan bone  turnover  yang mengurangi  penyerapan  tulang. Dengan  demikian  pembebanan  mekanik  dapat memperbaiki  ukuran,  bentuk,  dan  kekuatan  jaringan tulang dengan memperbaiki densitas jaringan tulang dan arsitektur tulang. Tulang melakukan adaptasi mekanik yaitu proses seluler yang memerlukan sistem biologis yang dapat mengindera pembebanan mekanik. Informasi pembebanan ini harus dikomunikasikan ke sel efektor yang  akan membuat  tulang  baru  dan merusak  tulang yang tua.

Etiologi
Beberapa penyebab osteoporosis, dapat diklasifikasikan menjadi :
a.       Osteoporosis pascamenopause à terjadi karena kurangnya hormon esterogen yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang. Produksi hormon esterogen mulai menurun 2-3 tahun sebelum menopause dan terus berlangsung 3-4 tahun setelah menopause sehingga mengakibatkan menurunnya masa tulang sebanyak 1-3% dalam waktu 5-7 tahun pertama setelah menopause.
b.      Osteoporosis senilis à terjadi karena kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas).
c.       Osteoporosis sekunder à terjadi karena disebabkan oleh keadaan medis lain seperti gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal atau disebabkan oleh obat-obatan misalnya penggunaan kortikosteroid, barbiturat, anti kejang yang berlebihan.
d.      Osteoporosis juvenil idiopatik à penyebab osteoporosis ini tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal, dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.

Gejala Klinis
Pada umumnya, osteoporosis tidak memiliki keluhan spesifik. Keluhan akan dirasakan bila tulang sudah mengalami fraktur yang akan menyebabkan rasa nyeri, deformitas, serta gangguan fungsi.
a.       Osteoporosis primer
  1. Tipe I (post manopausal):
Terjadi 15-20 tahunsetelah menopause (53-75 tahun).Ditandai oleh fraktur tulang belakang tipecrush, Colles’ fraktur, dan berkurangnya gigi geligi (Riggs & Melton,1986). Hal ini disebabkan luasnya jaringan trabekular pada tempat tersebut. Dimana jaringan terabekular lebih responsive terhadap defisiensi estrogen
  1. Tipe II (senile):
Terjadi pada pria dan wanita usia ≥70 tahun. Ditandai oleh fraktur panggul dan tulang belakang tipe wedge (Riggs & Melton,1986). Hilangnya massa tulang kortikal terbesar terjadi pada usia tersebut. Sebagai akibat dari proses penuaan alami, tidak diketahui penyebab pastinya, menyerang secara perlahan tapi progresif, dan dapat mengenai lebih dari satu persendian. Biasanya menyerang sendi yang menanggung berat badan seperti lutut dan panggul, bias jug menyerang punggung, leher, dan jari-jari.
  1. tipe III (juvenile idiopatik ) tidak diketahui penyebabnya
b.      Osteoporosis sekunder
Dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Penyebabnya meliputi ekseskortikosteroid, hipertirodisme, multipelmieloma, malnutrisi, defisiensi estrogen, hiperparatiroidisme, factor genetik, dan obat-obatan.(Kaltenborn, 1992).biasanya disebabkan oleh trauma (instabilitas) yang menyebabkan luka pada sendi (misalnya patah tulang atau permukaan sendi tidak sejajar), akibat sendi yang longgar, dan pembedahan pada sendi.

Faktor Risiko dan Faktor Protektif
·         Faktor Risiko
a.       Faktor Yang Tidak  Dapat Diubah
1.      Jenis Kelamin
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia 45 tahun.
2.      Usia
Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru menurun. Pada usia 75-85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat dibandingkan pria dalam mengalami kehilangan tulang trabekular karena proses penuaan, penyerapan kalsium menurun dan fungsi hormon paratiroid meningkat.
3.      Ras/Suku
Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau keturunan asia memiliki risiko terbesar. Hal ini disebabkan secara umum konsumsi kalsium wanita asia rendah. Salah satu alasannya adalah sekitar 90% intoleransi laktosa dan menghindari produk dari hewan. Pria dan wanita kulit hitam dan hispanik memiliki risiko yang signifikan meskipun rendah.
4.      Keturunan Penderita osteoporosis
Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka seseorang lebih rentang terserang osteoporosis. Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik tulang tertentu. Seperti kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu artinya dalam garis keluarga pasti punya struktur genetik tulang yang sama.
5.      Bentuk Tubuh
Perawakan kurus dan mungil memiliki bobot tubuh cenderung ringan misal kurang dari 57 kg, padahal tulang akan giat membentuk sel asal ditekan oleh bobot yang berat. Karena posisi tulang menyangga bobot maka tulang akan terangsang untuk membentuk massa pada area tersebut, terutama pada derah pinggul dan panggul. Jika bobot tubuh ringan maka massa tulang cenderung kurang terbentuk sempurna.
b.      Faktor Yang Dapat Diubah
1.      Hormon seks.
Tidak adanya kejadian abnormal pada saat periode menstruasi (amenorrhea), kadar estrogen rendah (menopause), dan kadar testosteron rendah pada pria dapat membawa pada osteoporosis.
2.      Anorexia nervosa.
Ditandai dengan ketakutan irasional berat badan, ini tarmasuk gangguan makan yang dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya osteoporosis.
3.      Asupan Kalsium dan vitamin D.
Diet seumur hidup rendah kalsium dan vitamin D membuat seseorang  lebih rentan terhadap osteoporosis.
4.      Minuman berkafein dan beralkohol.
Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat menimbulkan tulang keropos, rapuh dan rusak. Hal ini dipertegas oleh Dr.Robert Heany dan Dr. Karen Rafferty dari creighton University Osteoporosis Research Centre di Nebraska yang menemukan hubungan antara minuman berkafein dengan keroposnya tulang. Hasilnya adalah bahwa air seni peminum kafein lebih banyak mengandung kalsium, dan kalsium itu berasal dari proses pembentukan tulang. Selain itu kafein dan alkohol bersifat toksin yang menghambat proses pembentukan massa tulang (osteoblas).
5.      Merokok
Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis. Perokok sangat rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan tulang. Selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan. Disamping itu, rokok juga membuat penghisapnya bisa mengalami hipertensi, penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Kalau darah sudah tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik secara langsung tidak langsung. Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan terasa karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun, saat melewati umur 35, efek rokok pada tulang akan mulai terasa, karena proses pembentukan pada umur tersebut sudah berhenti.
6.      Mengkonsumsi Obat
Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti peradangan pada penyakit asma dan alergi ternyata menyebabkan risiko penyakit osteoporosis. Jika sering dikonsumsi dalam jumlah tinggi akan mengurangi massa tulang. Sebab, kortikosteroid menghambat proses osteoblas. Selain itu, obat heparin dan antikejang juga menyebabkan penyakit osteoporosis. Konsultasikan ke dokter sebelum mengkonsumsi obat jenis ini agar dosisnya tepat dan tidak merugikan tulang.
·         Faktor Protektif
1.      Olahraga
Olahraga untuk kesehatan atau pencegahan penyakit ini dilakukan dalam bentuk olahraga aerobik yang sedang selama 30 menit dalam sehari. Dianggap berolahraga jika dilakukan 5 hari dalam seminggu. Bentuk olahraga yang sehat itu, menjadi pilihan sendiri. Yang terpenting nyaman dan menyenangkan sehingga kita merasa dapat berminat dan tertarik secara terus menerus melakukan olahraga itu. bentuk-bentuk itu bisa berupa jalan cepat, lari-lari, berenang, mengayuh sepeda, dan sebagainya. Salah satu manfaat dari olahraga adalah memperkuat kesehatan tulang, otot, dan tendon, sehingga olahraga merupakan salah satu factor protektif dari osteoporosis.
2.      Pemilihan Alat Kontrasepsi
Dengan penggunaan alat kontrasepsi hormonal dapat meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis, hal ini dikarenakan dengan menggunakan alat kontrasepsi hormonal dapat mempengarui kadar estrogen dan testosterone dalam tubuh.
3.      Konsumsi Makanan Yang Kaya Vitamin D
Vitamin D merupakan salah satu pembentuk kalsium dan merupakan penguat tulang, sehingga dengan mengkonsumsi makanan yang kaya kalsium dapat mengurangi risiko seseorang terkena osteoporosis.

Pengobatan
Pemberian estrogen mampu mengurangi risiko terkena osteoporosis. Agar berjalan lebih efektif, disarankan pemberian estrogen dilakukan beberapa tahun sebelum menopause. Apabila pemberian estrogen baru dimulai begitu gejala timbul, hal tersebut sudah terlambat karena sudah timbul kerusakan yang irreversible, sulit dikembalikan. Dianjurkan pemberiannya diberikan dua tahun setelah tidak haid. Pada wanita yang diangkat kedua indung telurnya sebelum usia 40 tahun perlu segera diberikan estrogen. Terapi ini merupakan pengobatan jangka panjang, dimana khasiatnya baru terlihat setelah enam bulan hingga satu tahun minum obat. Pemberian testosteron untuk penderita osteoporosis pria yang kekurangan hormon testosteron dapat menghambat penyerapan tulang dan meningkatkan massa tulang.
Pemberian kalsitonin turut menjaga kestabilan struktur tulang dengan mengaktifkan kerja sel osteoblast dan menekan kinerja sel oesteoclast. Angka keberhasilan cukup tinggi, antara 82-86%. Pemberian biophosphonat menstabilkan struktur tulang dengan menekan kerja osteoclast sendiri dan beberapa enzim pendukung kerja sel penyerap tu;lang tersebut.

Pencegahan
Faktor genetik, ras, jenis kelamin, dan keturunan, tidak mungkin dimanipulasi. Sedangkan faktor lingkungan seperti nutrisi, aktivitas fisik, vitamin D, dan sinar matahari (tidak merupakan masalah pada sebagian besar daerah di Indonesia) merupakan hal penting untuk dimanfaatkan dalam pencegahan osteoporosis. Beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya osteoporosis, diantaranya :
a.    Kalsium
Kalsium memang erat kaitannya dengan kesehatan tulang, sebab mineral ini yang membentuk tulang. Sembilan puluh persen kalsium dalam tubuh disimpan dalam tulang dan gigi, sisanya tersebar di dalam darah dan jaringan lunak. Kalsium rata-rata yang dianjurkan di Indonesia adalah 500–800 mg per orang perhari. Pada usia lanjut dan wanita menopause menganjurkan sampai 1000 mg/hari.
b.   Paparan Sinar Matahari
Cukup mendapat paparan sinar matahari pagi sebagai sumber vitamin D sekurang-kurangnya 10 menit lamanya, terutama antara pukul 06.00–09.00. Sebaiknya tubuh yang terkena sinar matahari tidak dilindungi tabir surya maupun pakaian lengan panjang, agar pembentukan vitamin D tidak terhalang. Paparan sinar matahari bila tidak mencukupi bisa dibantu dengan minum suplemen vitamin D dengan dosis 400 – 800 IU.
c.    Olahraga
Olahraga adalah salah satu 'senjata' untuk menanggulangi osteopeni (penipisan tulang) maupun osteoporosis (keropos tulang). Latihan fisik dalam pembentukan tulang yang sehat dan kuat akan bereaksi terhadap beban yang diterima. Lakukan olahraga pembebanan secara teratur seperti jalan kaki, bersepeda, jogging, dansa, tenis/badminton atau naik turun tangga. Dan sebaiknya kombinasikan juga dengan latihan kelenturan dan keseimbangan. Hal—hal yang perlu diperhatikan oleh penderita osteoporosis ketika berolahraga :
1)      Hindari beban di depan
Membawa beban di depan badan bisa berbahaya, karena akan membebani tulang punggung yang akan menyebabkan patah karena ada tekanan.
2)      Hindari latihan-latihan otot-otot perut
Misalkan Sit – up tidak dianjurkan karena menyebabkan kompresi fraktur.
3)      Hindari latihan yang melibatkan tulang punggung
Misalkan membongkok ke depan dari posisi duduk atau berdiri memudahkan terjadinya kompresi fraktur.
Prinsip upaya pencegahan lebih baik dari sebatas pengobatan tetap juga berlaku dalam Penyakit Tidak Menular (Bustan, 2000):
a.       Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial ditujukan pada orang sehat. Di lapangan, pencegahan primordial yang efektif memerlukan adanya peraturan dari pemerintah, misalnya berupa kebijaksanaan terpadu untuk mengurangi jumlah perokok.
b.      Pencegahan Tingkat Pertama (primer)
Sasarannya ditujukan pada orang sehat, yaitu dengan promosi kesehatan (health promotion) dan pencegahan khusus (specific protection). Misalnya dengan :
1)      Menjamin konsumsi nutrisi yang cukup zat kapur, dari masa kanak-kanak sampai saat terhentinya pertumbuhan tulang.
2)      Setelah puncak masa tulang tercapai pada masa dewasa, maka asupan kalsium yang adekuat, latihan fisik yang teratur, dan menstruasi yang teratur harus tetap dipertahankan selama usia dewasa sampai memasuki usia lanjut.
c.       Pencegahan Tingkat Kedua (sekunder)
1)     Diagnosis Dini (Early Diagnosis)
Melakukan deteksi dan pengobatan dini saat ditemukan gejala kekurangan testosteron, sangat membantu untuk memperlambat datangnya osteoporosis. Gejala osteoporosis dapat dideteksi dengan alat yang dinamakan Bone Mineral Density (BMD) dengan alat berupa DEXA. Dengan alat ini dapat melakukan pemeriksaan foto rontgen khusus didaerah ruas tulang belakang, dan merupakan pemeriksaan keropos tulang paling akurat. (Andayani, 2006)
2)     Pengobatan (Prompt Treatment)
Pengobatan hormonal dengan hormon estrogen. Selain mencegah, cara ini sekaligus mengobati osteoporosisnya. Bagi yang tidak mungkin mendapatkan pengobatan hormonal, dapat diobati dengan pengobatan non hormonal dengan biophosphonates atau raloxifene. Pengobatan dengan súplemen CDR
Pemberian hormon pengganti testosteron tidak hanya membantu meningkatkan densitas tulang, tetapi juga dapat meningkatkan massa dan kekuatan otot, serta merangsang pertumbuhan rambut kembali bagi pria yang mengalami kebotakan. Saat ini diberitakan bahwa ada beberapa obat dari golongan bifosfonat yang terbukti efektif dalam mencegah terjadinya pengeroposan dan patah tulang pada pria yang menggunakan kortikosteroid. Bahkan alendronat, salah satu jenis bifosfonat, terbukti efektif mencegah patah tulang belakang pada pria yang memiliki densitas massa tulang yang rendah
d.      Pencegahan Tingkat Ketiga (Tersier)
Yaitu dengan melakukan rehabilitasi (rehabilitation) dan pembatasan kecacatan (disability limitation). Rehabilitasi dapat dilakukan dengan pengembalian fungsi fisik, psikologi, dan sosial seoptimal mungkin. Namun untuk penderita osteoporosis, tindakan rehabilitasi dilakukan dengan pengembalian fungsi psikologi dan sosial seoptimal mungkin. Hal ini dikarenakan kondisi tulang  yang keropos pada usia lanjut tidak mungkin dikembalikan lagi, karena pertumbuhan tulang sudah terhenti ketika seseorang berumur 20 tahun.
Beberapa hal yang paling penting untuk mencegah osteoporosis yaitu dengan mengurangi atau menghindari beberapa faktor risiko antara lain, dengan perilaku hidup sehat:
1)      Hindari merokok dan minuman beralkohol
2)      Olahraga rutin dan kontinu
3)      Kendalikan berat badan agar tidak terlalu gemuk
4)      Kurangi mengkonsumsi makanan berlemak
5)      Perbanyak mengkonsumsi sayuran segar dan buah-buahan